Wednesday, March 23, 2005

Bagi Anda Yg Sibuk Mengejar Karier

Sebuah cerita ringan yang bisa jadi renungan kita semua

Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya,andi, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama. "Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya andi memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, andi menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa?" "Lho, tumben, kok nanya gaji Papa? Mau minta uang lagi, ya?" "Ah, enggak. Pengen tahu aja." "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan minggu libur, kadang sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo?" andi berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi.

Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, andi berlari mengikutinya. "Kalau satu hari Papa dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000,- dong," katanya. "Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,"perintah Rudi. Tetapi andi tak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, andi kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp.5.000,- nggak?" "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah. "Tapi Papa..."Kesabaran Rudi habis. "Papa bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju, kamarnya.

Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok andi di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. andi didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama andi". Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok'kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih."

"Papa, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini. "Iya, iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja, mama sering bilang kalau waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam aku harus ganti Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,- . Makanya aku mau pinjam dari Papa," kata andi polos. Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

TELAGA HATI

Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua."Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping. Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingandan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu. Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dgn sepotong kayu iamengaduknya.

"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya, "Bagaimana rasanya ?" Segar ",sahut si pemuda.

"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua.
"Tidak, " sahut pemuda itu.

Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata: "Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.? Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan; lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak tua itu lalu kembali menasehatkan : "Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.? Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian."



peace & love